SEBAGAI UPAYA KONTRIBUSI BAGI NKRI YANG SEJAHTERA LAHIR BATIN
Oleh :
H. R. Hidayat Suryalaga
LEMBAGA BUDAYA SUNDA
UNIVERSITAS PASUNDAN
ABSTRAKSI
Berbincang mengenai Etika – sebuah kata dan pengertian yang universal – tentu menyangkut pula pada keberadaan setiap diri dan setiap etnik. Lalu Etika Sunda bagaimana juntrungannya, baik yang bersifat Moral sebagai acuan dan anutan hidup masyarakat ataupun yang bersifat aktual realistik dalam kehidupan berperilaku keseharian Ki Sunda. Tulisan ini mencoba mengayunkan langkah awal ke arah itu.
~۩~
Tulisan ini hanyalah langkah awal, suatu kerangka bangunan imajiner yang sangat memerlukan bantuan serta dorongan dan urun rembug dari setiap disiplin ilmu dan sudut pandang pemikiran para awak-awak Ki Sunda dalam menata Punden Etika Ki Sunda” (Punden = bangunan/tempat atau sesuatu yang disakralkan). Sesuatu yang disakralkan tentu harus berlandaskan yang religius, yang Ilahiah.
LANDASAN FALSAFI RELIGI:
Seyogyanyalah segala yang akan kita bangun dan kerjakan berlandaskan falsafah yang religius dan Ilahiah, yaitu:
- Setiap manusia diciptakan Alloh SWT mempunyai tugas masing-masing, ini bisa diartikan bahwa setiap pribadi insan mempunyai sesuatu yang harus dikerjakannya baik bagi dirinya/individu maupun bagi orang lain/masyarakat/sosial
- Alloh SWT juga menciptakan kabilah/kaom/ etnisk bangsa. Ini bisa diartikan bahwa penanda setiap Etnik adalah kebudayaan dan peradabannya. Tidak seragam, dalam ketidak-seragaman-lah di antaranya terlihat ke-Akbaran Allah SWT. (Q.S 49:13)
- Manusia sebagai khalifatullah fil ardi yang diberi amanah untuk berperan menjadi (Q.S.27:62)
- Rakhmatan lil Alamin. Ini dapat ditafsirkan bahwa manusia yang ditugasi untuk menjadi pemimpin, harus mempunyai “kepemimpinan/leadership” yang mampu mewujudkan kesejahteraan umat dan alam.
Dari landasan filsafat
Berada di satu lingkungan akan mewujudkan karakter lingkungannya dan pada gilirannya akan mewujudkan karakter peradaban etnisnya. Karakter individu/etnis inilah ang akan mewarnai cara seorang khalifah / pemimpin dalam menjalankan ETIKA kepemimpinannya.
Pertanyaan yang timbul adalah:
Adakah karakter Etika yang khas melekat pada KI SUNDA? Bila ada bagaimana sebaiknya karakter Etika KI SUNDA tsb dimanfaatkan secara optimal dalam menyiasati masalah hidupnya sendiri serta hidup bermasyarakat baik lokal, nasional maupun mondial/internasional.
Faktor penegas bahwa pertanyaan itu pantas untuk dicarikan jawabnya, sebab realitanya Masyarakat Sunda secara historis telah ada sejak tahun 132 M (Kerajaan Salaka Nagara di daerah Pandeglang/Banten), dan pada saat sekarang penduduk Jawa Barat (tentu sebagian besar etnis Sunda) telah berjumlah lebih dari 36 juta jiwa, jumlah terbesar kedua di Indonesia. Maka bisa diasumsikan bahwa tentu ada penanda yang signifikan “karakter Ki Sunda” dalam ETIKA HIDUPNYA, lebih khusus lagi ETIKA KEPEMIMPINANNYA. Obsesi inilah yang mendorong penulis berusaha untuk menelusuri dan mengkajinya; tentu saja hanya baru sebatas serpihan yang dalam idiomatika Sunda disebut dengan sesemplekan talawengkar, yang bila di tata kembali tidak mustahil akan menemukan bentuk/format yang utuh.
Langkah yang penulis tempuh untuk mencari jawab atas pertanyaan di atas saya coba dengan merunut pola deduktif atau lebih pasnya lagi dari penelusuran yang bersifat makro ke arah mikro, dari yang “luar/eksternal” ke arah yang “dalam/internal” yang akan berakhir pada APA YANG HARUS DILAKUKAN SETIAP INDIVIDU KI SUNDA DALAM MEMENEJ DIRINYA agar menjadi Khalifah yang Rakhmatan lil alamin.
Buku ETIKA JAWA karya Franz Magnis Suseno (FMS), saya gunakan sebagai bahan awal bagi bahan banding/analogi. Buku ini saya jadikan acu-banding selain karena satu-satunya buku yang berorientasi kepada etika suatu etnik (Jawa) juga ditulis oleh non etnik Jawa dilengkapi kajian ilmiah yang mendalam a.l dari Clifford Geertz dan Hildred Geertz, Anderson dll. (Buku sejenis ini tentang Sunda belum ada yang lengkap, misalnya yang membahas Filsafat Sunda).
Sebagai terminal awal kajian kali ini, saya akan menggunakan pengertian-pengertian yang digunakan oleh Franz Magnis Suseno, ini memudahkan dalam menstrukturkan/mengkonstruksikan cara berpikir yang runut. Meskipun ada bahaya kebablasan karena lebih cenderung pada konstruksi teoritis yang memungkinkan terabaikannya kajian empiris faktual, meskipun keberangkatan awal FMS berasal dari kajian data faktual.
Saya mulai dengan istilah-istilah kunci:
APA/SIAPA YANG DISEBUT KI SUNDA
Penyebutan orang Sunda dengan kata sandang KI, tidak diartikan sebagai penanda gender maskulin (seperti nama Ki (Kai) Enjum, Ki (Kai) Udin) tetapi lebih cenderung kepada penanda / penegas, searti dengan kata THE dalam bahasa Inggris.
Dengan demikian KI SUNDA, tidak saya definisikan sebagai suatu yang “tetap” terukur secara lahiriah, tetapi dimaknai lebih abstrak, sesuatu yang fitriah primordial/ sunatullah. Sebab KI SUNDA pun dalam keberadaannya akan tetap bergulir menapaki rentang waktu dan ruang, ada KI SUNDA BIHARI, KAMARI, KIWARI dan BARING SUPAGI (yad) .
Bila SUNDA merupakan kata benda, maka kata kerja/perilakunya disebut NYUNDA ; kata sifat- nya adalah KASUNDAAN dan waktu & ruang gerak keberadaannya disebut PA - SUNDA –AN -> PASUNDAN.
SAINI KM sorang budayawan. menyebutkan bahwa yang disebut Orang Sunda (Ki Sunda),: .... harus lebih dari hubungan intelektual, melainkan juga emosional dan bahkan intuituf yang sudah menjadi bagian kepribadiannya dan dengan demikian menentukan caranya berpikir dan bertindak. Tidak hanya memahami dan memiliki pengetahuan tentang kasundaan, tetapi menghayatinya dan melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari secara tidak sadar. (dalam : Dangiang edisi I/1999)
SIAPA URANG SUNDA ?
Setelah menyimak beragam definisi tentang siapakah Urang Sunda? Saya menyimpulkan ada 4 penanda seseoranag disebut URANG SUNDA, yaitu:
1. SUNDA SUBYEKTIF. Bila seseorang berdasarkan pertimbangan subyektifnya merasa bahwa dirinya adalah Urang Sunda, maka dia adalah Urang Sunda. Karena itu dia harus mengaktualisasikan dan mengaplikasikan Kasundaannya dalam berperilaku serta mempunyai konsep hidup yang NYUNDA. Artinya mampu memaknai dan mengaktulisasikan arti dan makna kata Sunda.
2. SUNDA OBYEKTIF. Bila seseorang dianggap oleh orang lain sebagai Urang Sunda, maka orang tersebut sepantasnya mampu mengaktulisasikan anggapan orang lain tsb. bahwa dirinya benar-benar Urang Sunda. Orang tersebut berkewajiban menunjukan Kasundaannya, yaitu berperilaku yang NYUNDA.
3. SUNDA GENETIK. Yaitu seseorang yang secara keturunan dari orang tuanya mempunyai silsilah Urang Sunda pituin (Orang Sunda asli). Malah dalam kebudayaan Sunda sering dirunut sampai pada generasi ketujuh di atas ego ( Tujuh turunan, yaitu indung/bapa – nini/aki, buyut, bao, janggawareng, udeg-udeg, kait/gantung siwur dan selanjutnya sebagai karuhun ). Pada masa sekarang dengan terjadinya pernikahan antar etnis, mungkin cukup ditandai dengan ibu dan bapaknya saja yang beretnis Sunda. Keberadaan Sunda Genetik ini adalah Sunatulloh. Simak intisari maknawi Al-Qur’an Surat 49 ayat 13. Oleh karena itu seseorang yang secara genetik adalah Urang Sunda, maka berkewajiban untuk hidup dan berperilaku yang NYUNDA sebagai penanda jati dirinya. Tidaklah pantas seseorang berujar “Kabeneran baĆ© jadi Urang Sunda”. Subhanalloh, Alloh yang maha-mempunyai rencana, tidak ada sesuatupun yang “kebetulan” bagi-Nya. Maka orang yang terlahir sebagai Urang Sunda pun bukan sesuatu yang kebetulan. Itu adalah kehendak Allah Swt. Maha-sempurna Allah Swt. dengan segala ciptaan dana kehendak-Nya.
4. SUNDA SOSIO-KULTURAL. Bila seseorang mempunyai ibu dan bapak atau salahsatu di antaranya bukan Urang Sunda pituin (asli); tetapi walau pun demikian dalam kehidupan kesehariannya, baik dalam perilaku, adat-istiadat, berbahasa, berkesenian dan berkebudayaan, berfikir serta mempunyai konsep hidup seperti Urang Sunda yang NYUNDA, maka dia pun adalah Urang Sunda. Terkadang kelompok Sunda Sosio-Kultural jauh lebih nyunda dalam perilaku kesehariaanya.
Dengan menyimak penjabaran seperti di atas, maka pangertian tentang Urang Sunda tidak perlu berkonotasi rasis. Adapun yang terpenting dari setiap orang yang mengaku sebagai Urang Sunda adalah mempunyai komitmen teguh dalam mewujudkan kehidupan masyarakat Urang Sunda yang sejahtera lahir batin. Selamat dunia – akhirat.
APA ETIKA
Secara lengkap saya nukil dari tulisan Franz Magnis Suseno, bahwa: Kata “etika” dalam arti sebenarnya mengenai bidang moral” jadi etika merupakan bidang atau refleksi sistematik mengenai pendapat-pendapat, norma-norma dan istilah-istilah moral. Lebih luas lagi “Keseluruhan norma dan penilaian yang digunakan dalam masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan/i kehidupannya; jadi di mana mereka menemukan jawaban atas pertanyaan: bagaimana saya harus membawa diri, bersikap, bertindak agar hidup saya “berhasil”
Jadi pada hakekatnya ETIKA adalah seni hidup manusia dalam menapaki kehidupannya untuk mencapai eudaemonia (kebahagiaan), bagi KITA tentu yang harus “berhasil” adalah kebahagian dunia wal akhirah.
MENGKAJI ETIKA SUNDA UNTUK APA?
Bila pengertian Etika diartikan seperti itu, maka tak pelak lagi kajian kita ini untuk menjawab sederet tanya di atas, dan akan bermuara pada pembuktian landasan falsafi religi (Islam) sebagai awal dan akhir kehidupan dari makhluk yang ditugasi untuk menjadi Rakhmatan lil alamin.
Makin terasa lebih komperhensif dan aktual lagi, karena kita sependapat, KI SUNDA masa kini hidup di tengah Rakyat Indonesia yang tengah haru biru, terpuruk hampir ambruk karena keroposnya ETIKA /MORAL sejak dari ulu sampai ke ilir; dari lapis elita sampai lapis jelata.
Ke arah berupaya mengatasi masalah inilah tulisan ini dibuat, sebagai suatu tarekah mengkontribusikan keberadaan KI SUNDA bagi peradaban bangsa baik lokal, nasional maupun mondial melalui kualitas etika/moral.
Tentu saja perlu selalu diingat bahwa apapun perbaikan yang akan kita rancang harus dimulai dari DIRI SENDIRI - IBDA BIN NAFSI – AWIT TI JATI DIRI dengan langkah awal Gnothi se auton ( Socrates; kenalilah dirimu sendiri) .
ETIKA SUNDA ADALAH ..............?
Sungguh saya terprovokasi dengan ungkapan FMS, bahwa tuntutan utama dalam ETIKA JAWA adalah ETIKA KEBIJAKSANAAN, adapun “ETIKA BARAT”condong kepada ETIKA KEWAJIBAN (Etika Jawa : 225), walaupun kedua jenis etika tersebut relativ sering berbaur.
Lalu untuk Ki Sunda? Apakah condong kepada ETIKA KEBIJAKSANAAN atau KEWAJIBAN, atau kedua-duanya, atau adakah penanda lain yang lebih signifikan lagi.
Penelusuran untuk mencari jawab atas “kapanasaran” ini, jelas tidak bisa ASAL main tebak, harus lebih mendalam dan mendasar. Sebagai langkah awal, saya pernah mencoba mengumpulkan pendapat orang tentang yang diangankan mengenai seorang karakter/Etika pemimpin Sunda atau yang Nyunda.
Pada kesempatan pertemuan kali itu pun saya coba ulangi menyampaikan isian kuesioner pada yang hadir. Dua nomor kuesioner yang saya sampaikan sebagai berikut:
1. SEBUTKAN/TULISKAN 5 ORANG YANG ANDA ANGGAP SEBAGAI TOKOH IDOLA ORANG SUNDA; BOLEH SIAPA SAJA SEJAK JAMAN BAHEULA SAMPAI SAAT INI, LAKI-LAKI ATAU PUN PEREMPUAN, BISA TOKOH NYATA ATAU PUN FIKTIF
2. MENURUT ANDA MENGAPA KELIMA ORANG TERSEBUT DIANGGAP SEBAGAI TOKOH/IDOLA .
CATATAN,
Ketika pertemuan dimulai, saya bagikan lembaran kertas dengan pertanyaan seperti di atas. Yang ikut mengisi adalah yang hadir pada dialog terbatas tsb, sebanyak 9 orang, terdiri dari 1 dosen senior/doktor pria, 2 orang dosen senior pria, 2 orang dosen senior wanita dan 4 mahasiswa/pria tingkat ahir dari beberapa fakultas yang ada di Unpas, ditambah selembar jawaban angket dari mahasiswa Fakultas Adab IAIN.
Di hadapan yang hadir, saya bacakan satu-persatu jawaban kuesioner sederhana tsb. beserta alasannya, tercatat seperti berikut:
Penjawab I:
1. OTO ISKANDARDINATA
2. K.H.HASAN MUSTAPA
3. KIAN SANTANG
Alasannya: - Memberi citra dan jatidiri Ki Sunda.
- Membawa nilai-nilai manusia yang universal.
Penjawab II:
1. RD.DEWI SARTIKA
Alasannya: - Karena beliau sebagai pelopor pendidikan di Tatar Sunda.
Penjawab III:
1. OTO ISKANDARDINATA
Alasannya : Peran sosial politik dalam konteks Nasional, ketika menjadi Ketua
Umum Paguyuban Pasundan cukup bermakna. Hal tersebut
merupakan kontribusi Ki Sunda untuk Negara tercinta Indonesia
termasuk Tatar Sunda.
Penjawab IV.
1. DAENG SUTIGNA
Alasannya : Karena dengan jasa beliau khususnya di budaya Sunda; sampai
sekarang musik digunakan dan dikenang oleh masyarakat Sunda.
Penjawab V.
1. PRABU SILIWANGI
2. MARHAEN (TOKOH FIKTIF)
Alasannya : Untuk no 1 : Kepemimpinan Egaliter
Untuk no 2 : Kesederhanaannya.
Penjawab VI:
1. PRABU SILIWANGI
2. DEWI SARTIKA
3. ALI SADIKIN
4. HR.DHARSONO
Alasannya : Untuk no 1: Prabu Siliwangi karena kepemimpinannya yang adil dan
rakyatnya (pada jamannya) dikenal sebagai rakyat yang makmur.
Untuk no 2 : Dewi Sartika, karena perhatiannya pada rakyat kecil. dia
berikan sesuatu yang berharga bagi seorang anak; pendidikan.
Untuk no 3 : Bang Ali dikenal sebagai pemimpin yang konsisten,
teguh dalam pendirian dan memperhatikan segala aspek kehidupan
masyarakat tidak hanya politik, ekonomi.
Untuk no 4 : H.R.Dharsono dijadikan idola karena kedekatannya
kepada rakyat. Bahkan dia menyamar untuk bisa menyampaikan kebenaran
Penjawab VII :
1. TIDAK ADA
Alasannya : -
Penjawab VIII :
1. UU RUKMANA:
Alasannya : (Hanya ada catatan: Krisis kepemimpinan secara Nasional, termasuk
di dalamnya orang Sunda yang boleh dikatakan belum ada atau tidak
ada sama sekali mempunyai figur yang bisa dielukan oleh orang
Sunda itu sendiri.
Penjawab IX:
1. R.OTO ISKANDARDINATA
2. R. DEWI SARTIKA
3. ALI SADIKIN
4. TETEN MASDUKI
5. R. HIDAYAT SURYALAGA
Alasannya : - Pengabdian dan keberanian menegakkan kebenaran dan nilai-nilai
luhur sebagai implementasi budaya Sunda yang luhur.
Penjawab X
1. R.OTO ISKANDARDINATA
2. PANGERAN KORNEL (PANGERAN KUSUMAHDINATA)
Alasannya : - Heroik
Bila direkapitulasi jumlah yang didapatkan:
1. Oto Iskandardinata : 4
2. Dewi Sartika : 3
3. Prabu Siliwangi : 2
4. Ali Sidikin : 2
5. K.H. Hasan Mustapa : 1
6. Kian Santang : 1
7. Pangeran Kornel (Pangeran Kusumadinata ) : 1
8. H.R.Dharsono :1
9. Teten Masduki : 1
10. Uu Rukmana : 1
11. Hidayat Suryalaga :1
11. Marhaen (tokoh fiktif) :1
Penanda karakter dari tokoh yang diidolakan:
Dengan menyimak dan memaknai data yang teramat sederhana di atas, dan setelah saya bandingkan dengan penelusuran/penelitian lainnya yang pernah saya lakukan ( a.l di lingkungan mahasiswa berbagai Fakultas yang ada di UNPAS), bisa dibuat daftar karakter yang jadi pertimbangan mereka yaitu:
Rasa keadilan, pengabdian, keberanian menegakan kebenaran, kerakyatan/demokrasi, konsisten, kesederhanaan, egaliter, kreatifitas, pelopor, kesadaran nasionalisme dan universal.
Setelah kita renungi penanda karakter yang diidolakan oleh para apengisu kuesioner, untuk sementara saya berpendpat ETIKA SUNDA mempunyai penanda khusus yaitu ETIKA KEADILAN dan PENGABDIAN.
UNSUR ETIKA KEADILAN dan PENGABDIAN
- Leksem adil mengandung arti ...... 2 berpihak kepada yang benar; berpegang kepada kebenaran; 3 sepatutnya; tidak sewenang-wenang, (KBBI. 1988). Apa yang disebut dengan Kebenaran sungguh sangat relatif, bergantung kepada pandangan orang yang mengatakannya, adapun kebenaran yang tertinggi adalah yang SUMMUM BONUM, kebenaran tertinggi yang Ilahiah.
- Leksem abdi < pengabdian: proses, perbuatan, cara mengabdikan diri (KBBI. 1988). Secara umum pengabdian adalah mengabdikan diri kepada tujuan yang dianggapnya mulia dengan ketulusan hati/ikhlas.
Tentu saja, karena etika bukan sesuatu yang matematis, maka akan selalu berkelindan erat antara prinsip etika kewajiban, kebijaksanaan maupun keadilan dan pengabdian atau yang lainnya lagi; hanya saja akan ada salah-satu segmen dari ketiganya yang lebih signifikan yang menandai anutan etika suatu etnik, misalnya bagi Ki Sunda adalah Etika Keadilan dan Pengabdian.
Rasa Keadilan salah-satunya akan terekpresikan dalan perilaku yang Heroik. Bila demikian ada benarnya apa yang pernah dikatakan Tjetje Hidajat Padmadinata yang lama berkecimpung dalam dunia “Kasundaan”, bahwa orang Sunda lebih menghargai kepahalawanan daripada kekuasaan.
Bila ini benar menjadi penanda Etika Sunda yang signifikan, kini yang perlu difikirkan adalah aplikasi/aktualisasi arti dan makna Keadilan dan Pengabdian dalam tataran praksisnya. Semakin terasa relevansinya pada saat ini ketika keadaan masyarakat sekarang yang sangat memerlukan tegaknya keadilan. Perlu sekali “tandangnya pahlawan-pahlawan Urang Sunda yang berkarakter adil, penuh pengabdian dan berjiwa heroik dengan cara yang baik dan benar (herang caina beunang laukna) sebab kalau tidak dilandasi dengan falsafah “bil hikmah” maka berkemungkinan besar semangat heroik akan kebablasan (kalalanjoan) menjadi anarki (tunggul dirarud catang dirumpak ).
SIMPULAN SEMENTARA
Saya berharap pertemuan ini adalah semacam re-introspeksi sejauh mana kesadaran batin kita (centris primus) dan komitmen kita terhadap tugas pribadi kita sebagai insan yang ditugasi oleh Allah SWT untuk Ngertakeun Bumi Lamba (Rakhmatan lil Alamin )
Wacana ini hanya untuk mengingatkan kita bahwa ada Pekerjaan Rumah yang perlu kita cermati, adakah etika Sunda yang signifikan? Kalau ada bagaimana merevitalisasi dan mengkatualisakannya; sebab nilai etika bukan hanya pada tataran prinsip-prinsip fundamental tioritisnya (Bio Theoritica) tetapi pada tataran perwujudannya yang nyata (Bio Practica), dalam perilaku berkesenian (art) berkebudayaan (cultur) dan dalam berperadabannya (civilazation), yang akan terefleksikan dalam masyarakat yang bermartabat yang Madani yang Mardotillah.
Berkat ijinNya jugalah kita dapat berbincang kali ini.
Alhamdullillahhirobbil a’lamin
Wassalamualaikum wr wb.
Hurip Sunda !
hurip sunda
Bandung, 16- 7-1999
Dikaji ulang, 1-9-2009
Buku Pelengkap:
- FRANZ MAGNIS SUSENO. 1993. Etika Jawa. Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. PT Gramedia. Jakarta.
- Hidayat Surylaga .2009. KASUNDAAN- RAWAYAN JATI
- Hidayat Suryalaga. 2009, FILSAFAT SUNDA
- IBNU TAIMIYYAH. 1995. Etika Beramar Ma’ruf Nahi Mungkar. Gema Insan Press. Jakarta.
- Kamus Besar Bahasa Indonesia. Depdikbud 1988
- Prof. Dr. H.A.R. Tilaar. 1999. Pendidilan, Kebudayaan, dan Masyrakat Madani Indonesia. PT Remaja Rosda Karya. Bandung.
- SAINI KM . 1999 ( Dalam Dangiang edisi I/Mei-Juli 1999)
- Tim Penulis Rosda. 1995. Kamus Filsafat. PT. Remaja Rosda Karya.
~۩~